Udah lama gua merasa terusik dengan omongan-omongan trend follower dari era modern/post-modernisme ini. Salah satu trend yang gua pelajarin secara jelas merupakan buah dari era post-modernisme adalah peleburan agama-agama yang ada di dunia menjadi 1 aliran yang disebut spirituality. Apa itu spirituality atau spiritualitas? Itu adalah sebuah faham yang kira-kira secara singkat mengatakan bahwa semua agama punya ide pokok yang sama, yaitu tentang kebaikan, menolong orang, dll tapi yang membedakan adalah hal-hal sepele semacam siapa nama tuhannya, gimana cara ibadahnya, kapan hari rayanya, dll yang pengikut-pengikut trend ini sebut sebagai konsep yang semata-mata dibuat oleh manusia sendiri. Hmm...menarik. Benarkah seperti itu? Tapi itu akan kita bahas nanti, gua lanjutin dulu tentang spiritualitas. Jadi spiritualitas ini akhirnya meleburkan atau mengkombinasikan nilai-nilai yang mudah untuk diterima dari beberapa agama lalu diterapkan dalam kehidupan orang tersebut tanpa orang tersebut terikat pada suatu agama tertentu. Kenapa mereka kekeuh untuk melupakan masalah identitas peragamaan ini? Salah satu argumen mereka adalah bahwa karena agama hanya memecah persatuan umat manusia. Agama hanya membangun tembok pemisah dan batasan-batasan antar manusia yang berbeda agama, seolah-olah mereka menjadi tidak bisa bergerak bebas untuk berelasi dan berinteraksi antar sesama manusia karena mereka berbeda agama. Hmm...terdengar masuk akal dan cenderung benar ya? Tapi gua akan bagi pembahasan terkait fenomena ini ke dalam 2 tulisan. Tulisan pertama tentang hidden reason orang-orang ini berusaha menghapuskan agama dari muka bumi, dan yang kedua adalah apakah kekristenan seperti agama-agama lainnya.
![]() |
(Sumber: http://alexcaemmererjrbooks.com/religion-takes-many-directions/) |
Kita masuk ke pembahasan yang
pertama, akar permasalahan dari seluruh fenomena ini, kebebasan. Yup, awal mula
semua trend ini adalah keinginan
untuk bebas, bebas sebebas-bebasnya. Maka kita bisa mengkategorikan fenomena
ini sebagai turunan dari faham liberalisme. Dalam faham liberalisme penganutnya
menebas habis peraturan-peraturan yang bersifat mengekang dan merampok
kebebasan mereka. Salah satu yang jadi sasaran utamanya jelas adalah agama, di
mana aturan-aturan agama yang dipercaya sebagai buatan manusia itu dianggap
terlalu mendikte cara hidup, pola pikir, dan segala pengambilan keputusan dalam
diri seseorang, oleh karena itu mereka merasa hidup mereka tidak lah lagi
bebas, namun di bawah kontrol agama atau bahkan yang lebih parah adalah di
bawah kontrol pemimpian agama, seorang manusia biasa, namun diberi wewenang
untuk mengatur ‘umat’ yang dititipkan kepadanya.
Selain itu hal lain yang umumnya
jadi penyebab seseorang tidak mau menganut satu agama adalah karena mereka
menghindari mempercayai satu sosok menjadi tuhan mereka. Karena pada dasarnya
akan lebih mudah percaya dan ‘taat’ kepada sesuatu atau sesosok yang tidak
jelas identitasnya dari pada yang sudah jelas identitasnya. Jika kita tidak
mengenal jati diri dari sosok yang kita sembah, kita bisa menciptakan ide-ide
dan gambaran sesuai dengan imajinasi kita bagaimana pribadi yang kita inginkan
atau idam-idamkan menjadi tuhan kita. Misal, pribadi yang membebaskan kita
melakukan apapun asal membuat kita bahagia, pribadi yang akan tetap mengasihi
kita tanpa ada aturan apapun yang harus kita patuhi dan membenarkan setiap
tindakan dan keputusan yang kita ambil apapun dampak yang dihasilkan, pribadi
yang lepas tangan atas jalan hidup kita namun akan selalu mencurahkan kuasa dan
pertolongannya dalam kita menjalani hidup ini. Itulah sosok dan personality tuhan yang sempurna dan liberating di benak kita. Jauh lebih
meringankan hati percaya dan ‘taat’ pada tuhan yang seperti ini dari pada
kepada Tuhan yang sudah dari awal memberikan segudang peraturan untuk ditaati,
Tuhan yang mudah cemburu dan tersinggung kalo kita sebentar saja berbalik dari
Dia dan memilih untuk mengikut kehendak kita sendiri, Tuhan yang rindu untuk
selalu kita sembah dan ajak ‘ngobrol’ setiap harinya minimal 10 menit setiap
hari. Itu melelahkan bukan? Ya, kata mereka yang mengklaim diri mereka sebagai
penganut kepercayaan spiritualitas.
Sekilas info, dari yang saya tau,
yang membedakan kaum spiritualis dengan agnostik lebih ke tindakan mereka,
karena sebetulnya ke dua faham tersebut sama-sama percaya akan adanya sosok
yang mahakuasa dalam dunia ini, hanya saja mereka tidak memutuskan siapakah
sosok tuhan tersebut, agama manakah yang benar. Mereka sama-sama berdiri di
titik ‘netral’. Namun kini yang membedakan adalah bagaimana di tengah
kepercayaannya sebagai spiritualis mereka tetap akan berdoa baik saat di tengah
kesulitan, mau makan, atau dalam situasi-siatusi lainnya yang mengingatkan
mereka akan adanya keberadaan yang mahakuasa. Selain itu beberapa penganut
spiritualis juga melakukan ritual-ritual ibadah versi mereka yang bisa mereka
comot dari salah satu agama-agama yang ada, selama itu berkenan di hati dan
pikiran mereka. Berbeda dengan agnostik yang sekalipun mereka percaya adanya
keberadaan yang mahakuasa namun kepercayaannya tidak dilanjutkan dengan
tindakan kongkrit atau nyata. Mereka tetap menjalani hidup tanpa secara khusus
menghiraukan adanya keberadaan tuhan tersebut.
Salah satu quote yang sangat
mendeskripsikan kaum spiritualis adalah sebagai berikut
“Being a good person is more important than being a religious person”
Terlihat jelas dari quote
tersebut bahwa sang pembuat quote udah terlanjur memiliki stigma yang negatif
terkait agama. Pertanyaannya sekarang, apakah benar agama hanya menimbulkan
perpecahan kepada umat di dunia ini? Apakah benar agama hanya menciptakan
aturan-aturan yang tidak esensial dalam menjaga kebahagiaan dan kedamai
sejahteraan dari pengikutnya? Seburuk itukah agama? Kalau memang seburuk itu,
apakah semua agama sama? Atau ada agama yang tidak seperti itu? Karena gua
pribadi pun kalo memang selama ini gua sadar bahwa gua dengan bodohnya
mengikuti peraturan-peraturan yang sebetulnya dibuat oleh manusia-manusia biasa
gua tidak akan mengulur-ulur waktu lagi untuk mengatakan bahwa agama itu tidak
penting, agama itu hanya merepotkan, beragama itu melelahkan, buang-buang
waktu, energi, bahkan uang gua. Gua akan jadi orang pertama yang memberikan
pengakuan bahwa gua capek bahkan benci beragama dan gua memutuskan untuk gak
beragama sekalian dan menjadi spiritualis, humanis, agnostik, ateis atau apapun
itu yang paling sesuai dengan kebutuhan pribadi gua. Tapi sekarang pertanyaan
gua adalah apakah agama ada hanya sebatas agar manusia dapat berbuat baik?
Tidak adakah fungsi yang lebih dari itu?
Tunggu analisis gua di postingan
selanjutnya. Tuhan memberkati~
Comments
Post a Comment