Skip to main content

Review Film Divergent & Hunger Games

Memang terkesan aneh hidup gua tertolong karena produk media. Tapi ternyata surprisingly cara itu memang bener-bener efektif banget. Justru karena gua konsumsi produk-produk media itu sekarang gua segitu on firenya dalam ngejalanin hidup ini seberapa burukpun kondisi yang terjadi dalam hidup gua ataupun sekitar gua. Apa aja produknya? Gua bakal bagiin ke kalian semua review produk media itu dalam beberapa postingan ke depan, nah kali ini kita mulai dengan review film Divergent dan Hunger Games.
  • Divergent
(Sumber: Website Variety)


No joke! Gua bener-bener sesuka itu sama film ini. Gua amazed ngeliat gimana kehidupan Tris sang pemeran utamanya bisa berubah sedemikian rupa ketika dia mutusin untuk memaksa dirinya untuk survive. Kalo penasaran sama film ini coba kalian tonton deh, tapi intinya film ini bercerita tentang sebuah dunia di mana manusia dikelompokin ke dalam 5 faksi yang berbeda-beda sesuai minat, bakat, dan panggilan hidupnya. Ada Candor untuk orang-orang yang bertugas menegakkan hukum di dunia itu, Erudite untuk orang-orang pinter yang cinta science dan semacamnya, Amity untuk orang-orang yang bekerja keras mengerok hasil bumi untuk bahan sandang, pangan, papan dunia itu, Dauntless untuk orang-orang yang menjaga keamanan dan kedamaian kehidupan dunia itu, dan Abnegation untuk orang-orang yang mau hidup sederhana serta fokus untuk nolong orang-orang yang tersisihkan dari society itu atau yang disebut factionless yaitu mereka yang gak masuk dalam faksi manapun karena kegaksanggupan ngikutin standar yang ada ataupun karena pelanggaran yang mereka lakuin di faksi sebelumnya.

Tris pindah dari Abnegation (faksi dia sejak lahir) ke Dauntless pas umur 16 tahun, selayaknya semua anak 16 tahun lainnya di dunia itu. Dia terpisah dari orang tuanya yang di Abnegation dan kakaknya yang milih untuk pindah ke Erudite. Kehidupan di Dauntless susah karena dia harus ikut beberapa ujian fisik dan mental yang belom pernah dia alami di Abnegation sebelumnya. Hidupnya bener-bener berubah drastis dari yang santai-santai jadi yang dikejar target untuk lolos tes Dauntless, karena kalo dia gak lolos tes dia bakal dibuang dari Dauntless dan jadi factionless. Akhirnya karena dia tau fisik dia lemah dan dia gak jago bela diri dia memaksa dirinya untuk terus latihan sendiri setiap hari dengan bangun subuh-subuh sebelum yang lain pada bangun demi ningkatin kemampuan dia. Dia tau dia gak punya opsi lain selain berjuang untuk lulus tes atau kalo ngga akan jadi factionless, dan dia milih untuk berjuang supaya lulus. At the end dia berhasil lulus tes, bahkan lebih dari itu ketika permasalahan dateng atas dunia itu dia lah yang jadi salah satu pejuang untuk nyelamatin dunia itu dari tangan-tangan orang jahat. Tris yang tadinya lemah bisa jadi cewe terkuat di film itu karena kegigihan dan perjuangannya.

  • Hunger Games

Pola cerita yang sama gua temuin juga di film Hunger Games di mana Katniss dari no one bisa jadi penyelamat dunianya bahkan meniadakan Hunger Games untuk selanjutnya karena keberanian dia untuk berjuang di tengah kejahatan dunia yang dia hidupi saat itu.

Tantangan yang dia hadapin banyak banget. Mulai dari yang paling pertama ketika turnamen Hunger Games baru banget dimulai di mana seluruh kontestan harus rebutan tas backpack berisi persediaan makanan, senjata, dan lain-lain Haymitch yang adalah mentor Katniss dan Peeta (kontestan lain yang berasal dari distrik yang sama dengan Katniss) usulin ke mereka untuk langsung kabur dari area itu dan segera selamatin diri karena itu jalan paling aman, eh tapi karena Katniss tau kehidupan mereka selama di dalam arena Hunger Games itu akan sulit dan lama maka dia memilih untuk abain petuah Haymitch dan dengan segenap kekuatan ngambil senjata dan 1 backpack untuk proteksi diri penghidupan dia seterusnya. Smart move. Dan memang setelah itu segala sesuatunya jadi sedikit lebih mudah dengan Katniss punya panahnya dan backpacknya itu. Beberapa kali dia nyaris mati karena rintangan-rintangan ataupun kecelakaan yang ada di dalam arena selama proses Hunger Games itu tapi dia bisa lewatin dengan segala barang-barang yang diperoleh dari backpacknya. Beberapa kali dia nyaris dibunuh sama kontestan yang terlalu ambisius mau menangin pertandingan Hunger Games itu tapi karena dia punya panahnya gak cuma dia bisa selamatin dirinya sendiri tapi juga bisa selamatin rekan-rekannya.

Dalam setiap scene kita bisa liat Katniss beberapa kali nyaris mati karena berbagai macam alasan layaknya kontestan-kontestan dari distrik lain yang juga gak butuh waktu lama untuk mati duluan. Tapi Katniss gak pernah menyerah. Dia tau dia gak boleh mati di kompetisi Hunger Games ini karena dengan dia mati dia gak akan bisa ngadain perubahan untuk dunianya, dia gak akan bisa nyelamatin keluarganya, ataupun temen-temennya. She’s worthless if she’s dead.

(Sumber: website Empire)

Dari kedua film ini kita bisa liat penggambaran si pembuat cerita yang berusaha menunjukkan baik dunia Divergent maupun dunia Hunger Games sebagai versi dramatis dan ekstremenya dunia kita. Gua bisa liat itu dari konflik-konflik yang dihadapi pemeran utamanya yang ujung-ujungnya berkenaan dengan struggle dengan orang yang haus kekuasaan, orang yang berkhianat karena pengen cari aman, sistem politik yang gak sehat untuk society, trus dimana mereka gak punya pilihan lain selain bertahan dalam menghadapi semua tantangan hidup mereka dan kemudian memberanikan diri untuk membuat perubahan untuk dunianya. Well, kira-kira begitu juga bukan yang terjadi di dunia real life ini? Makanya gua suka banget ketika tema-tema kayak gini diangkat dalam film, gereget dan banyak banget moral value yang bisa diambil.

Kalo gua gak salah inget sejak nonton Divergent jiwa feminist gua bangkit, atau bangun dari tidur, atau apapun itulah, yang penting sejak liat kisah hidupnya si Tris itu gak tau kenapa gua bisa relate dan termotivasi untuk do something big about my own life. Aneh ya? Masa termotivasi gara-gara film. Tapi itu beneran. Sejak saat itu gua sadar bahwa perempuan tuh sebenernya bisa banget ngelakuin banyak hal dan juga hal-hal besar. Cuma karena selama ini – khususnya di tengah lingkup budaya patriarkis Indonesia – kita selalu didengung-dengungkan pemikiran bahwa perempuan harusnya nikah cepet aja gausah sekolah tinggi-tinggi biar cowo gak merasa terancam; perempuan kodratnya di rumah bersih-bersihin rumah, melayani suami, dan ngurusin anak; jadi perempuan gausah terlalu ambisius dalam berkarir karena itu tugasnya laki-laki; dan pemikiran-pemikiran kerdil semacamnya, akhirnya kita gak tau seberapa besar potensi yang bisa dimiliki seorang perempuan. Karena pemikiran kayak gitu akhirnya banyak perempuan yang gak tahan banting, ketika mereka menghadapi permasalahan dikit mereka langsung nangis, meratapi diri, curhat ke banyak orang, trus gak ngerti harus bagaimana nyelesain dan ngatasin permasalahan itu.

Seberapa berat sih permasalahan hidup kita? Kalo selama ini kerjaan kita cuma mengeluh, meratapi diri, dan menyerah dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang kita hadapi maka kita perlu revolusi mental, guys.

Enaknya kalo nonton film itu kita dikasih percontohan konflik hidup pemeran utamanya tuh gak setengah-setengah, pasti kayak beratttt banget gitu sampe kita yang nonton aja mungkin mikir kalo kita di posisi dia pasti kita gak akan sanggup ngelewatin apa yang pemeran utamanya itu lewatin. Tapi dengan gitu jadi enak untuk dijadiin panutan ketika dibandingin dengan kehidupan kita sendiri di real life.

Misalnya kalo permasalaan kita sekedar nyelesain skripsi di perkuliahan yang never ending ini, yaelah coba liat semangatnya Tris dan Katniss yang dari no one-nobody dengan memaksa diri mereka sendiri akhirnya bisa jadi hero atas dunia mereka masing-masing. Lucunya memang pas gua lagi bergulat dengan tugas akhir gua yang banyak drama-drama unpredictablenya itu beberapa kali kalo gua mulai demot gua rewatch film-film ini untuk memompa semangat gua lagi dan lit up the fire in my heart, and it works. Akhirnya gua toughen up ngelewatin proses itu dan survive melewati masa-masa begadang memaksa diri untuk cari ide dan nyicil laporan TKA (Tugas Karya Akhir) gua, mengejar tanda tangan dosen-dosen penguji dari ujung bumi ke ujung bumi lainnya dalam sehari, mantengin laporan gua dipercetakan sampe jam 2 pagi sekalipun bokap udah ngancem mau coret nama gua dari kartu keluarga, lari-lari ke kampus dengan kondisi belom sempet makan sesuap nasi ataupun setetes air pun selama hampir seharian untuk ngejar deadline sampe rasanya kaki gak mijak di tanah lagi sangkin nge-flynya, dan lain sebagainya. I survived, karena gua belajar dari film-film itu. Cih, emang gua anak film banget deh.

So, ayok guys permasalahan apapun itu yang kalian hadapi sekarang kalian pasti bisa lewatin. Be a Tris or katniss in your own life, be your own hero!

Oke ini baru review produk media terkait tema survival pertama gua. Kalo penasaran produk-produk media apa lagi yang berkaitan dengan tema ini yang bisa banget dijadiin life lesson silahkan scroll ke postingan-postingan terbaru lainnya.

Comments

Popular posts from this blog

He Was My Father, Yet Never Was My Dad

Setahun udah berlalu sejak papa dipanggil Tuhan secara mendadak. Sebetulnya pengen pura-pura selalu tersenyum aja dan bilang bahwa aku Ikhlas Tuhan panggil papa pulang ke pangkuanNya. Tapi salah satu ciri kedewasaan dalam beriman adalah ketika kita terbuka akan apa yang kita rasakan, kita alami. Dan di postingan ini gua pengen cerita, rasanya punya papa seorang hamba Tuhan, dan rasanya ketika papaku diambil secara tiba-tiba tanpa kesempatan utk say goodbye . Persepsi umum yang orang-orang punya kalo ngeliat anak yang orang tuanya seorang pendeta atau hamba Tuhan pasti “enak”, “baik”, “beruntung”, “aman (secara kerohanian)”, padahal udah jadi rahasia umum kalo justru anak pendeta biasanya rusak-rusak, entah karena jadi target utamanya si iblis untuk nyerang pelayanan Tuhan lewat keluarga hambaNya, ataupun karena, ini yang gua personally rasain, ayah/ibunya yang adalah hamba Tuhan justru terlalu asik melayani di luar hingga anaknya sendiri ditelantarin. Gua yang mana? This is the ug...

Review Film Adrift

Satu lagi produk media yang mau gua review  terkait poin survival  yaitu film Adrift yang dimainin oleh Shailene Woodley (lah sama ya sama yang main Divergent). Kalo kalian nonton film ini gua gak yakin kalian bakal suka karena abang gua pun pas nonton ini katanya dia ngerasa ngantuk dan bosen banget sampe dia akhirnya ketiduran gak nonton film ini sampe habis. Huft.  Memang kalo diliat berdasarkan plot ceritanya sangat berpotensi ngebuat bosen sih karena alur ceritanya campuran yaitu mix antara flashback dan present . Sesungguhnya gua paling gak suka alur cerita yang kayak gitu, gua lebih suka fokus aja di present  kalo mau flashback  untuk jadi bahan plot twist  aja atau di moment-moment  tertentu. Tapi pas gua ngeliat poin survival  di film ini akhirnya gua mengesampingkan selera gua dan fokus ngikutin film ini dari awal sampe akhir, dan gua suka banget. (Sumber: website AVForums) Film ini bercerita tentang seorang perempuan bern...

Failure Does Not Always Mean That You Are Not Good Enough

Pemanasan-pemanasan Kegagalan Dulu pas SMA gua sedih banget karena gagal masuk SMA-SMA terbaik di Depok (karena SMP gua masuknya rayon Depok jadi males pindah-pindah rayon lagi untuk nyari SMA ke Jakarta ). SMA-SMA Depok terbaik di jaman gua waktu itu SMA 1, SMA 2, SMA 3, dan tiga-tiganya gua gak masuk. Malah ‘terbuang’ masuknya ke SMA 5 Depok. No offense untuk anak-anak SMA 5 Depok atau yang ngerasa SMAnya masih di bawah SMA 5 Depok tapi ini gua lagi jujur menjelaskan perasaan gua waktu itu. Alhasil gua di bully sama abang-abang gua yang notabene masuk SMA-SMA terbaik Jakarta ataupun Depok, abang gua yang pertama masuk Gonzaga, salah satu SMA swasta terbaik Jakarta, abang gua yang kedua masuk SMA 34 Jakarta, salah satu SMA negeri terbaik Jakarta, dan abang gua yang ketiga keempat masuk SMA 1 Depok. Pas awal-awal masuk SMA 5 Depok, yang disebut SMANLI, gua malu dan kecewa banget sama diri sendiri, begitu juga sama Tuhan, karena dari pas mau tes-tes masuk SMA udah berdoa banget su...