Skip to main content

Ekspektasi, si pembunuh gairah hidup (Revelation after 24 years)

Today I'm officially 24 dan gua pengen share apa pembelajaran menarik yang gua dapati selama 1 tahun terakhir ini. Selamat membacaaa~

Ekspektasi, alias harapan. Sadar gak sadar hidup kita dihantuin dia dari detik pertama kita terdeteksi tercipta dalam perut emak kita. “Pa, semoga anak kita jadi orang sukses ya nanti.” “Iya ma, amin. Semoga dia jadi anak baik-baik yang banggain kita.” Duengggg, kira-kira begitulah ekspektasi pertama yang tertancap di dalam sejarah kehidupan kita masing-masing.

Jadi anak pendeta, apa lagi satu-satunya cewe, ekspektasi adalah makanan gua sehari-hari. Rasanya ada selusin atau bahkan lebih post it ekpektasi orang-orang yang tertempel di jidat gua ketika mereka pertama kali ketemu gua after denger nama gua disebut-sebut dari atas mimbar atau sebatas dari mulut ke mulut. (Ih pede banget gua, ngerasa diomongin. Well, some people told me those things right to my face, so kepedean gua itu berdasar.) “Anaknya pak Sagala pasti hidupnya ‘lurus’ banget ya”, “Anaknya pak Sagala harusnya rajin dateng SEMUA persekutuan, absennya harusnya 0 (NOL) di kegiatan-kegiatan ibadah dan kerohanian yang diadakan persekutuan kita”, “Anaknya pak Sagala pasti rajin PA, kan papanya pendeta pasti dia juga cinta banget sama Alkitab”, “Anaknya pak Sagala pasti gak akan menolak pelayanan, papa mamanya aja rajin pelayanan”, dannnnn “seharusnya”-“seharusnya” lainnya. Well, news flash people I don’t intend to be a people pleaser, I intend to be a God pleaser only. Jadi tolong simpan semua ekpektasi kalian untuk diri kalian sendiri dan coba kenal gua dari 0 tanpa embel-embel anak pak Sagala dan title-title lainnya, eh tapi kalo gak mau juga gapapa sih, gak maksa, hehe.

Sebetulnya ekpektasi itu gak salah, bagus bahkan. Ekpektasi itu mengarahkan seseorang ke arah yang baik. Dia bisa dijadiin standar hidup kita supaya tau gimana sih hidup yang ideal yang diterima oleh masyarakat/komunitas/orang-orang tertentu. Misalnya apa sih ekpektasi yang sering kita denger dalam hidup ini?

-Lulus kuliah s1 harusnya 4 tahun, jangan lebih
-Sebelum lulus kuliah harusnya minimal udah pernah pacaran
-Habis lulus kuliah langsung kerja, jangan lama-lama nganggur. Kalo bisa gausah nganggur sama sekali
-Setelah berapa kurun waktu kerja harusnya udah naik pangkat, atau setidaknya mencapai nominal tertentu untuk gajinya
-Setelah berapa tahun pacaran dan kerjaan juga udah bagus harusnya langsung nikah. Ya maksimal cewe 30 lah, cowo 35. Jangan lewat batas itu, nanti keburu gak laku
-Setelah nikah setahun harusnya udah punya anak
-Setelah punya anak 1 langsung berencana nambah anak ke2
-dan seterusnyaaaaaaa….

It’s a set of rules yang menjadi ekspektasi semua orang terhadap semua orang. Bagusnya memang kita jadi lebih terencana dan punya target yang jelas dalam menjalani setiap tahun bahkan detik kehidupan kita, tapi buruknya? Ekpektasi bisa menjadi pembunuh gairah hidup. Karena fokus kita beralih, bukan untuk menikmati setiap moment dan langkah hidup kita tapi justru panik dikejar deadline-deadline itu. Dan kalo ternyata sampe deadline hal-hal itu belom terpenuhi kita paksain segala cara atau embat segala pilihan yang tadinya gak ada jadi ada demi memenuhi ekpektasi-ekspektasi itu. “Yaudah sama siapa aja deh, gua udah kelewat deadline kawin, yang penting ada pasangan”, “Yaudah kerja di kantor gak jelas ini aja deh dengan kerjaan yang gak jelas juga dari pada nyari-nyari lagi dan nganggur lebih lama lagi”, “Yaudah gua topik skripsinya yang paling gampang deh biar gak ribet lulusnya sebodo amat dampak skripsi ini nanti gimana buat masyarakat”, dll.

Lucu, kenapa kita sebegitu patuhnya sama ekpektasi orang ya? Padahal emangnya itu ada di UUD? Kita bakal ditangkep polisi gitu kalo gak nuntasin semua buah-buah ekpektasi itu? Atau yang terpenting, emang semua itu ada tercatet di dalam Alkitab? Emang Tuhan ada bilang di Alkitab deadline nikah paling lambat umur berapa, atau gaji fresh grad minimal berapa, atau umur berapa setidaknya kita harus udah jadi manajer divisi kantor? Sadar gak sih bahwa itu semua hanyalah buatan manusia dengan budayanya yang berbeda-beda di tiap negara? Bagi orang Korea Selatan umur nikah yang ideal itu justru 30an ke atas baik untuk cewe maupun cowo, supaya setidaknya mereka udah financially stable dan secara karakter dewasa dulu baru nikah, tapi sebaliknya bagi orang Indonesia itu udah terlalu tua. Takut nanti anaknya cacat katanya. Seriously?

Pernah gak kita coba bayangin hidup kita gak disetir ekpektasi? Kita akan jalanin hari demi hari, ambil keputusan demi keputusan dengan jauh lebih serius dan enjoyable. Kita akan berusaha menaruh meaning dalam setiap hal yang kita lakukan. Karena dengan adanya ekpektasi hidup kita jadi merasa diburu-buru. Tiba-tiba nanti separo hidup kita udah lewat aja, dan kita terlanjur lupa untuk nikmatin hari hari yang udah lewat itu. Kita takut ambil resiko dalam hidup kita karena takut nanti waktu kita terbuang percuma andaikan jalan yang ternyata kita pilih itu berujung pada kegagalan? So what dengan kegagalan? Coba lagi cara yang lain sampe ambisi kita itu terwujud. Setiap fase hidup yang kita lewatin pasti akan membuahkan sesuatu di masa depan sekalipun kelihatannya kita gagal.

Buat kalian yang follow IG gua mungkin pernah liat gua ngepost di tengah tahun kemaren gimana gua ngerasa tahun 2019 ini tahun tersulit dalam hidup gua. Emang apa yang terjadi sih? Gini ceritanya. Akhir tahun 2018 kemaren gua memutuskan untuk resign dari job gua sebelumnya karena satu dan lain hal. Pas masuk tahun 2019 gua mulai brainstorming dengan diri gua sendiri, apa yang harus gua lakuin selanjutnya? Cari kerjaan baru? Kalo iya ke mana? Ke bidang apa? Atau kalo gak kerja ngapain? Singkat cerita satu malam (literally malam, pas lagi diambang mau tidur, setengah sadar selagi pikiran gua melayang-layang transisi antara realita dan mimpi) gua mendapat ilham! WUAW. Gua ‘terpanggil’ untuk mengerjakan satu project yang akan gua kerjakan seorang diri. Apa projectnya? Ada deh. Tetiba lautan ide menerpa gua malam itu terkait project itu dan gua langsung bangun lagi dan nulis secara detail gua mau ngapain, apa projectnya, apa tujuannya, gimana step-stepnya, timeline progressnya, nilai-nilai yang mau diangkat, dll. Besoknya gua bilang ke bokap nyokap “Pa, Ma, aku putusin tahun ini aku mau nganggur dulu untuk kerjain satu project yang melibatkan bakat, passion, dan ‘panggilan’ ku untuk memberi dampak positif untuk bangsa #asek. I need to do this.” Dan gua jelasin panjang lebar ke kedua orang tua gua itu mengenai ambisi gua terkait project ini. Mereka manggut-manggut, dan kasih perijinan ke gua. Gua sampe mikir “Wih gampang banget, kedua orang tua gua sesupportive itu! WUAW! Puji Tuhan!”. Eh ternyata belom ada sebulan lewat percakapan meja makan balik lagi ke “kamu udah apply ke mana aja?”. Gua coba jelasin lagi, trus mereka teringat lagi dan untuk saat itu gak ngelanjutin pertanyaan mereka. Tapi sebulan kemudian lupa lagi, gitu terus sampe mereka kayaknya kesel sama keputusan gua itu dan kalo gua ungkit-ungkit gimana progress gua dalam ngerjain project gua itu mereka segakpeduli itu dan mukanya flat abiss seolah-olah apa yang gua bilang itu angin lalu. Ujung-ujungnya mereka nyuruh gua untuk daftar perekrutan BUMN dan coba apply ke perusahaan-perusahaan kenalan mereka. Untuk memenuhi ekpektasi mereka gua pun melakukan itu.

Permasalah baru muncul, singkat cerita gua keterima di dua perusahaan. 1 perusahaan yang emang gua suka dan sesuai sama ‘panggilan’, skill, dan passion gua (pas banget lah sama idealisme gua), sedangkan yang 1 lagi adalah BUMN, sesuai dorongan bokap nyokap untuk apply waktu itu. Jelas gua mau pilih yang gua mau itu dan lepasin yang BUMN. Tapi gak semudah itu pak Ekooo! Bokap nyokap gua berdebat sama gua sengotot-ngototan itu nyuruh gua ambil yang BUMN aja karena katanya “lebih menjanjikan dan bergengsi” dibandingkan perusahaan yang gua mau itu. Di sini lagi-lagi gua berhadapan dengan ekpektasi. Gua harus pilih antara memuaskan ekpektasi kedua ortu gua atau ikutin idealisme gua. Ternyata sampe kapanpun bokap nyokap gua gak akan paham atau setidaknya butuh waktu yang sangaaaaaaaaaaaatttt lama untuk memahami jalan hidup yang berusaha gua tapaki ini. Mereka maunya gua ambil jalur mainstream aja karena yang mereka liat jalur itu lebih aman dan menjanjikan. Niatnya bagus untuk memudahkan kehidupan gua, tapi life is far more precious than that. Hidup itu bagai labirin yang harus kita coba satu-satu jalannya (bisa by feeling, bisa juga by experience) tapi once we succeed to solve it kepuasannya tuh gak terbayarkan dengan apapun juga.

10 bulan gua udah nganggur. Tapi jujur di satu sisi gua gak ngerasa bosan atau apapun itu, karena gua pake 10 bulan ini untuk ngerjain project yang gua sangat enjoy untuk lakuin. Bakal sukses gak? Gak tau, gua bukan dukun, gua gak bisa baca masa depan. Tapi satu yang gua tau pasti it will contribute something for my future. 10 bulan gua nganggur, tanpa penghasilan hanya pengeluaran, well, itu resiko yang gua ambil secara sadar untuk ngerjain project ini. Ibaratnya gua lagi menginvestasi waktu gua untuk keberhasilan project ini ke depannya. Karena andaikan project ini berhasil gua rasa semua pengorbanan itu harganya terlalu murah. 10 bulan gua nganggur gimana caranya berhadapan dengan pertanyaan “lo kerja dimana sih?”? Jujur, berat banget. Terkadang gua terpaksa bohong kalo gua rasa lawan bicara gua ini gak bakal ngerti keputusan gua untuk ngerjain project ini, terkadang juga kalo pun gua udah jelasin ke lawan bicara gua karena gua rasa dia akan mendukung gua gua harus tahan-tahanin awkward situation ketika ternyata si lawan bicara gua ini pun juga salah satu orang yang gak ngerti dan gak mendukung keputusan gua ini.

It’s so freaking hard living the life where you walk against the mainstream. Kita harus mengecewakan orang-orang tertentu yang menaruh ekpektasi pada diri kita, kita harus tebal muka menerima tatapan-tatapan merendahkan orang-orang yang mencap kita gagal, kita harus bisa bergulat dengan diri kita untuk meyakinkan diri kita sendiri bahwa kita melakukan hal yang benar. But, hey, it’s your life. Satu-satunya konfirmasi yang perlu lo harapkan hanyalah dari Pencipta lo, ya Tuhan itu sendiri. Kalo emang pas lo tanya Dia Dia kasih lampu ijo, dan lo sendiri punya tekad dan feeling yang kuat, ya go ahead. Tutup kuping, pake kacamata kuda, keep moving forward! Kerjain itu sampe kelar dengan segala kemampuan lo sekalipun lo ditinggal sendirian dalam mengerjakan itu.

I’d rather live doing something that I enjoy and proud of, than live doing something that looks cool and eye-pleasing in the eyes of the people. Kalo kata orang-orang barat YOLO, you only live once, maka berbuat lah sesuka lo dalam hidup lo, kalo gua lebih suka, you only live once, so make the most of it. Buat setiap hari dalam hidup lo meaningful buat diri lo dan buat dunia ini.

Gua gak kebayang seberapa sendirian dan tertekannya Nuh pas Tuhan suruh dia buat bahtera raksasa di ‘siang bolong’ (Kejadian 6:9-22). Seberapa pedes celaan yang dia terima dari tetangga-tetangganya atau bahkan orang-orang terdekatnya sendiri. Dia ngelakuin project besar itu hanya karena instruksi dari Tuhan. Ada orang lain yang denger gak? Gak ada. It was just between God and him. Ngomong ke orang-orang “Tuhan yang nyuruh gua” akan terdengar freak bagi mereka yang gak denger atau ngerasain instruksi itu secara langsung. Dia pasti ngalamin tekanan mental atau bahkan mungkin fisik, dibully karena kegilaannya ngerjain project itu. But he did it anyway, he actually finished it until the very end. Dan untungnya karena keputusan dan kegigihan dia sejarah hidup manusia di dunia ini masih berlanjut. Andaikan dia memilih ego dan gengsi dia untuk mengikuti ekpektasi orang yang kira-kira menyuruh dia untuk ngeberhentiin project gilanya itu manusia akan punah dan lenyap dari bumi. Tapi ngga, karena keyakinan dia akan targetnya itu dia udah nyelamatin kita semua umat manusia untuk membangun keturunan hingga sekarang di dunia ini. We should thank his mad ambition and crazy blind faith in God.

“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” (Efesus 2:10)

Setiap kita pasti udah Tuhan siapin untuk sebuah cerita yang unik, yang berbeda dari yang lain. Jangan berusaha mencontek dan menyamakan jalan hidup kita dengan orang lain, karena kita gak akan pernah tau sebagus apa cerita hidup kita kalo kita stick to the original one. Mungkin akan mengambil waktu yang lama untuk mencapai klimaks kesuksesannya (baca di sini untuk tulisan gua tentang kesuksesan), mungkin jalannya akan berliuk-liuk dulu, tapi percayalah Tuhan punya cerita yang grande buat setiap pribadi dari kita. Tugas kita cuma 2: hidupi setiap detik kehidupan kita dengan penuh makna, dan enjoy hidup yang sementara ini. Ekspektasi itu boleh ada, tapi jangan sampe jadi majikan kita.

I’m 24 and I’ve decided to create and live my own story. Dadah ekpektasi~


Comments

Popular posts from this blog

He Was My Father, Yet Never Was My Dad

Setahun udah berlalu sejak papa dipanggil Tuhan secara mendadak. Sebetulnya pengen pura-pura selalu tersenyum aja dan bilang bahwa aku Ikhlas Tuhan panggil papa pulang ke pangkuanNya. Tapi salah satu ciri kedewasaan dalam beriman adalah ketika kita terbuka akan apa yang kita rasakan, kita alami. Dan di postingan ini gua pengen cerita, rasanya punya papa seorang hamba Tuhan, dan rasanya ketika papaku diambil secara tiba-tiba tanpa kesempatan utk say goodbye . Persepsi umum yang orang-orang punya kalo ngeliat anak yang orang tuanya seorang pendeta atau hamba Tuhan pasti “enak”, “baik”, “beruntung”, “aman (secara kerohanian)”, padahal udah jadi rahasia umum kalo justru anak pendeta biasanya rusak-rusak, entah karena jadi target utamanya si iblis untuk nyerang pelayanan Tuhan lewat keluarga hambaNya, ataupun karena, ini yang gua personally rasain, ayah/ibunya yang adalah hamba Tuhan justru terlalu asik melayani di luar hingga anaknya sendiri ditelantarin. Gua yang mana? This is the ug...

Review Film Adrift

Satu lagi produk media yang mau gua review  terkait poin survival  yaitu film Adrift yang dimainin oleh Shailene Woodley (lah sama ya sama yang main Divergent). Kalo kalian nonton film ini gua gak yakin kalian bakal suka karena abang gua pun pas nonton ini katanya dia ngerasa ngantuk dan bosen banget sampe dia akhirnya ketiduran gak nonton film ini sampe habis. Huft.  Memang kalo diliat berdasarkan plot ceritanya sangat berpotensi ngebuat bosen sih karena alur ceritanya campuran yaitu mix antara flashback dan present . Sesungguhnya gua paling gak suka alur cerita yang kayak gitu, gua lebih suka fokus aja di present  kalo mau flashback  untuk jadi bahan plot twist  aja atau di moment-moment  tertentu. Tapi pas gua ngeliat poin survival  di film ini akhirnya gua mengesampingkan selera gua dan fokus ngikutin film ini dari awal sampe akhir, dan gua suka banget. (Sumber: website AVForums) Film ini bercerita tentang seorang perempuan bern...

Failure Does Not Always Mean That You Are Not Good Enough

Pemanasan-pemanasan Kegagalan Dulu pas SMA gua sedih banget karena gagal masuk SMA-SMA terbaik di Depok (karena SMP gua masuknya rayon Depok jadi males pindah-pindah rayon lagi untuk nyari SMA ke Jakarta ). SMA-SMA Depok terbaik di jaman gua waktu itu SMA 1, SMA 2, SMA 3, dan tiga-tiganya gua gak masuk. Malah ‘terbuang’ masuknya ke SMA 5 Depok. No offense untuk anak-anak SMA 5 Depok atau yang ngerasa SMAnya masih di bawah SMA 5 Depok tapi ini gua lagi jujur menjelaskan perasaan gua waktu itu. Alhasil gua di bully sama abang-abang gua yang notabene masuk SMA-SMA terbaik Jakarta ataupun Depok, abang gua yang pertama masuk Gonzaga, salah satu SMA swasta terbaik Jakarta, abang gua yang kedua masuk SMA 34 Jakarta, salah satu SMA negeri terbaik Jakarta, dan abang gua yang ketiga keempat masuk SMA 1 Depok. Pas awal-awal masuk SMA 5 Depok, yang disebut SMANLI, gua malu dan kecewa banget sama diri sendiri, begitu juga sama Tuhan, karena dari pas mau tes-tes masuk SMA udah berdoa banget su...