Skip to main content

What Should I Strive For In Life?

(Sumber: Dreamstime.com)

Semakin hari dunia ini semakin kuat nanemin konsep pemikiran bahwa untuk dapat survive di dunia ini, kita harus punya modal yang cukup. Terlebih kalo kita mau sukses maka kita wajib punya modal yang banyak juga untuk mencapai kesuksesan tersebut, misal: otak yang pintar, segudang pengalaman berorganisasi, uang hasil pendapatan kita sendiri, penampilan fisik yang menarik, dan sederet hal-hal fana lainnya. Sebaliknya, jika kita tidak punya hal-hal tersebut maka dapat dipastikan hidup kita tidak akan bahagia dan what’s left for us hanyalah duduk diam meratapi hidup dan memandang dari jauh kehidupan-kehidupan sukses orang-orang di sekitar kita. Ketika kita tidak memiliki hal-hal tersebut, kita merasa hidup kita udah gak ada artinya, tidak seberarti si A yang pintar, tidak seberarti si B yang cantik, tidak seperti si C yang tajir dan CVnya penuh dengan segudang pengalaman berorganisasi, kita merasa insecure dan akhirnya takut menghadapi masa depan atau meratapi hidup kita saat itu karena dalam pikiran kita “gua gak modal, gua gak akan bisa bersaing di kemudian hari, gua udah ketinggalan jauh”. 

Sekarang, gua mau nge-break down pembahasan kasus di atas ke dalam beberapa bagian.

Pertama, apa yang dimaksud dengan sukses? Kita mulai dengan, apa yang didefinisikan sebagai ‘sukses’ bagi dunia ini? Coba kita list satu-satu. Gaji yang jauh di atas UMR. Trus gaji yang bisa ngebantu kita untuk mulai nyicil beli mobil pribadi dan tempat tinggal pribadi bahkan jauh sebelum kita punya atau ngebangun keluarga sendiri. Yang dimaksud dengan ‘sukses’ adalah ketika di usia tertentu kita udah financially stable, bisa biayain hidup sendiri, bahkan untuk orang lain juga dengan cara traktir mereka, atau kasih hadiah buat mereka, dan lain-lain. Selain itu yang dimaksud dengan ‘sukses’ (masih di mata dunia ini) adalah ketika setelah turun di dunia profesional selama kurun waktu tertentu, kita udah punya jabatan yang lumayan menjanjikan, bukan cuma junior staf lagi tapi udah yang di bagian manajer atau yang sejenisnya. Trus indikator ‘sukses’ lainnya adalah ketika di usia tertentu kita udah punya pasangan, dan bukan sekedar pasangan yang masih dalam konteks gak serius, tapi pasangan yang kita udah yakin bakal mau ngebangun keluarga bersama. Lanjut, ketika umur sekian kita udah menikah, trus lanjut lagi ketika setelah setahun nikah udah punya anak, trus masih lanjut lagi ketika udah punya anak, umur sekian anaknya udah di sekolahin di sekolah yang bagus, lanjut lagi anak lo udah harus pacaran, anak lo nikah, lo punya cucu, terusss nambah indikator kesuksesan itu. Singkatnya kalo dirangkum semua itu, di falsafah hidup orang batak ada 3 hal yang menjadi pilar kesuksesan seseorang sebagai manusia, hamoraon (kekayaan), hasangapon (kemuliaan), dan hagabeon (beranak cucu). Ntaps! Itulah kesuksesan di mata dunia ini.

Nah, coba kita kontemplasiin bentar. Untuk siapa dan demi siapa kita memperjuangkan mati-matian 3 hal tesebut sepanjang hidup kita di dunia ini? Untuk orang tua? Untuk pasangan kita? Untuk anak kita? Untuk Tuhan? I don’t think so. Selidik punya selidik semua balik lagi untuk...kita. Untuk saya. Untuk gua sendiri. Yea’absolutely, it’s my life, so I have to serve myself as long as I live in this world.

Kalo kita gak berhasil mencapai standar kesuksesan versi dunia ini, kita takut untuk ‘kalah’ bersaing. Gengsi. “Masa temen gua bisa lebih tajir dari gua? Padahal lulus bareng. IP juga nyaris sama, bahkan tinggian gua!” Kita terus membandingkan diri kita dengan orang lain, karena itulah yang kita lihat dalam hidup ini, kompetisi. Di postingan sebelumnya gua bahas tentang contentment, kepuasan hidup, hal itu gak akan bisa tercapai selama kita terus berusaha untuk berkompetisi dalam dunia ini, membandingkan hidup kita dengan orang lain dan gak merasa cukup dengan apa yang udah kita capai atau kita punya. Kita gak siap dengan cibiran yang akan orang berikan kepada kita ketika kita dilihat kurang ‘sukses’. Kita gak siap dipandang sebelah mata. Kita gak siap tidak diperhitungkan dalam kelompok orang-orang yang matters di dunia ini.

Tapi gua pengen tanya, apakah itu arti sesungguhnya untuk hidup di dunia ini? Apakah hidup ini sekedar ngecukupin perut dan gengsi kita sendiri?

Stop listening to the voices in this world! Coba berenti melihat dan mendengar apa kata dunia ini. Coba cari sendiri makna hidup yang sebenarnya dari hal-hal kecil yang lo bisa temuin di sekitar lo. Yang ada di depan mata lo. Yang bisa didenger kuping lo sendiri. Karena dunia ini akan selalu memasang standar yang tinggi dan gak ada habis-habisnya untuk orang-orang bodoh dan yang terlalu haus dengan pengakuan berusaha setengah mati memenuhi atau melampauinya. Maka coba liat di sekitar lo dengan seksama, dengan hati lo, Tuhan udah kasih clue tentang arti hidup yang sebenernya.

Ada 1 perikop dalam Alkitab yang bener-bener ngebukain pikiran gua banget untuk makna hidup yang sebenernya. Perikopnya ada di 1 Raja-raja 17:7-24 tentang seorang janda di Sarfat yang udah di penghujung hidupnya ketemu dengan nabi Elia (atas perencanaan Tuhan). Singkatnya ceritanya begini. Dalam perjalanan pelayanan nabi Elia, Tuhan suruh doi untuk pergi ke Sarfat, secara jelas Tuhan bilang bahwa di sana Tuhan udah nyiapin seorang janda untuk kasih doi makan. Bayangan kita pasti awalnya kalo Tuhan mau percayain kecukupan jasmani nabi Elia ke janda tersebut berarti janda tersebut berkecukupan dong ya? Well, salah. Ternyata janda tersebut miskin. Bukan miskin aja, tapi miskin BANGET, sangkin miskinnya si janda tersebut protes sekaligus curhat ke nabi Elia ketika doi minta dibuatin sepotong roti bahwa yang tersisa di persediaan bahan makanannya itu cuma segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli, dan saat itu dia lagi ngumpulin kayu bakar untuk jadi bahan bakar mengolah bahan-bahan tersebut untuk jadi seporsi makanan untuk dia dan anak laki-laki satu-satunya sebelum mereka mati kelaparan. Tapi apa respon nabi Elia denger curhatannya itu? Apakah dia bilang “yaudah karena itu bahan untuk porsi makanan terakhir lo dan anak lo di dunia ini sebelum mati jadi silahkan, makan aja”? Nope, nabi Elia kekeuh minta bahan-bahan makanan tersebut untuk dijadiin roti untuk dia sendiri. Walau dengan iming-iming bahwa dengan begitu Tuhan akan melakukan mujizatNya dan ngebuat bahan-bahan makanan tersebut GAK AKAN PERNAH HABIS ATAUPUN BERKURANG, tetep aja, janda tersebut di penghujung hidupnya diperhadapkan dengan 2 pilihan, kasih the very last thing yang dia punya untuk mencukupi kebutuhan orang lain, atau pertahanin untuk dirinya dan anak laki-laki satu-satunya.

Kalo kita di posisi janda tersebut apa yang akan kita pilih? Ya kalo liat dari cara pandang dunia jaman sekarang di mana yang paling utama adalah diri kita sendiri, maka pastilah dengan terpaksa ataupun dengan gampang kita akan pertahanin milik kita itu karena kita merasa kebutuhan kita lebih urgent. Kita akan bilang ke nabi Elia “maaf pak, tanpa mengurangi rasa hormat sedikit pun, saya tidak bisa kasih bahan-bahan makanan ini buat bapak. Kebutuhan saya dan anak saya lebih penting, ini terkait hidup dan mati. Bapak silahkan minta ke orang lain yang lebih mampu” gua yakin 100%.

Tapi liat apa yang janda sarfat tersebut lakukan. Keputusan apa yang dia ambil. Di ayat 15 dibilang bahwa dia pun patuh dengan nabi Elia dan ngebuatin sepotong roti bundar kecil dari bahan-bahan makanan tersebut untuk nabi Elia. She gave her very last and most precious things, for the good of others. That is life, it is about giving.

Lebih banyak orang kaya dan sehat atau orang miskin dan hidup gak layak? Cari di belahan dunia manapun pasti banyakan orang yang miskin dan hidup gak layak. Kira-kira kenapa bisa gitu? Kalo memang hidup ini adalah sebatas perlombaan membangun dinasti dan menumpuk kekayaan, kenapa gak Tuhan buat semua orang di dunia ini berkecukupan? Kalo memang hidup ini seremeh mencukupi kebutuhan diri kita sendiri, kenapa BANYAK orang-orang yang hidupnya harus ditopang dan ditolong, kalo ngga dia bakal mati? Apakah benar hidup ini sebatas tentang diri kita sendiri?

Bisa gak kita ubah cara hidup kita mulai sekarang? Jangan tanya, “Apa yang bisa gua beli dengan sejumlah duit ini untuk diri gua sendiri?” Tapi tanya, “Apa yang bisa gua beli dengan sejumlah duit ini untuk orang lain yang lebih membutuhkan? Siapa yang bisa gua tolong dengan duit ini? Siapa yang bisa gua bantu untuk melihat kasih dan penyertaan Tuhan atas hidup mereka dengan duit ini?” Dari pengalaman gua sendiri, JAUH lebih nikmat rasanya memberi untuk orang lain dari pada menerima untuk diri sendiri. Ada rasa damai dan kepuasan yang gak tergambarkan ketika orang yang lo bantu dengan sebagian rejeki yang lo punya bilang “terima kasih” ke lo dengan penuh rasa syukur dan senyum lebar dan tulus. Memberi ke orang lain gak cuma kasih kepuasan untuk orang lain, tapi untuk diri lo sendiri, percayalah. Dengan melakukan demikian lo akan sadar bahwa lo udah melakukan sesuatu yang benar dan mulia. Lo gak cuma hidup untuk diri lo aja, tapi lo bahkan udah berdampak untuk hidup orang lain.

Sebagai manusia kita akan selalu merasa bahwa dalam hidup ini apa yang kita punya belom cukup, masih butuh lebih dan lebih lagi. Kita gak akan pernah merasa puas. Ini kayak yang udah gua bahas di postingan sebelumnya. Tapi kunci dari hidup yang bisa berbagi dengan orang lain adalah ketika kita bisa ngebuat batasan sampai di titik mana kita mau ambil berkat Tuhan yang Dia udah kasih buat kita itu untuk kita pakai untuk diri kita sendiri. Untuk bilang “cukup! Gua cuma butuh segini.” Sisanya? Di situlah dengan leluasa kita bisa kasih ke orang-orang yang lebih membutuhkan atau untuk hal-hal baik dan yang akan berdampak lebih luas. Bisa secara langsung buat orang-orang yang lebih membutuhkan, atau untuk penyelenggaraan acara penting yang akan bermanfaat untuk masyarakat luas, atau kegerakan pelayanan Tuhan, dan hal-hal lainnya, yang jelas gak akan balik untuk diri kita sendiri lagi.

Coba liat kelanjutan hidup si janda sarfat tersebut. Apa yang kemudian terjadi pada dia ketika dia mutusin untuk kasih bahan-bahan makanan terakhirnya untuk dijadiin makanannya nabi Elia. Apakah dia dan anaknya mati kelaparan? Ngga. Tuhan nepatin janjiNya dengan ngecukupin kebutuhan jasmani dia dan anaknya sampe akhirnya musim kelaparan di wilayah itu selesai. Tuhan lihat bagaimana dia mau melepaskan hal yang paling berharga dalam hidupnya saat itu untuk hambaNya, dan Tuhan justru melipatgandakan kepunyaannya itu untuk memberkati dia lebih lagi. Gua cukup yakin rumus yang sama berlaku hingga saat ini. Kalo kita berusaha menahan-nahan berkat Tuhan atas hidup kita untuk kepentingan kita sendiri, Tuhan pasti akan memperhitungkan kita sebagai egois dan tamak, and you won’t go anywhere. Tapi sebaliknya kalo kita dengan ringan dan murah hati mau membagi-bagikan berkat yang udah Tuhan kasih ke kita dan hanya mengambil sedikit aja untuk diri kita sendiri lalu sisanya dipersembahkan untuk menyatakan kasih Tuhan ke orang lain pasti Tuhan gak akan juga menahan-nahan berkatNya untuk kita.

“Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Matius 6:25)

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33)

FYI, dari kata “ditambahkan” (mat 6:33) kita bisa tau bahwa sedari awal objek utama yang harus kita kejar di dunia ini bukan kekayaan, kemasyuran, dan keturunan. Tapi yang Tuhan Yesus bilang secara jelas adalah Kerajaan Allah (pertobatan sejati) dan kebenarannya (menghidupi pertobatan tersebut).

Jadi gimana? Apakah lo masih mau jadi boneka-boneka dunia ini yang dipermainkan dengan segala aturan-aturan dan cara mainnya yang gak berarti? Atau lo mau berhenti hidup dengan cara fana itu dan mulai hidup yang lebih bermakna dan berarti dengan cara hidup untuk Tuhan dan untuk orang lain? Maukah lo jadi rekan Tuhan untuk membuat dunia ini menjadi lebih baik dengan segala berkat yang udah Dia kasih buat lo? Tuhan memberkati~

Comments

Popular posts from this blog

He Was My Father, Yet Never Was My Dad

Setahun udah berlalu sejak papa dipanggil Tuhan secara mendadak. Sebetulnya pengen pura-pura selalu tersenyum aja dan bilang bahwa aku Ikhlas Tuhan panggil papa pulang ke pangkuanNya. Tapi salah satu ciri kedewasaan dalam beriman adalah ketika kita terbuka akan apa yang kita rasakan, kita alami. Dan di postingan ini gua pengen cerita, rasanya punya papa seorang hamba Tuhan, dan rasanya ketika papaku diambil secara tiba-tiba tanpa kesempatan utk say goodbye . Persepsi umum yang orang-orang punya kalo ngeliat anak yang orang tuanya seorang pendeta atau hamba Tuhan pasti “enak”, “baik”, “beruntung”, “aman (secara kerohanian)”, padahal udah jadi rahasia umum kalo justru anak pendeta biasanya rusak-rusak, entah karena jadi target utamanya si iblis untuk nyerang pelayanan Tuhan lewat keluarga hambaNya, ataupun karena, ini yang gua personally rasain, ayah/ibunya yang adalah hamba Tuhan justru terlalu asik melayani di luar hingga anaknya sendiri ditelantarin. Gua yang mana? This is the ug...

“Orang Bule Pasti Suka”

Beberapa hari yang lalu gua pergi ke salon sesuai rencana yang udah gua idam-idamkan selama gua Dinas Luar Kota (DLK) sebelumnya. Wajib hukumnya untuk pijet dan luluran setelah berhari-hari mondar mandir dijemur di bawah matahari. Udah pake sunblock , udah pake topi, manset, dll, tapi tetep, rasanya lebih bersih kalo dilulur dan dipijet, bikin badan rileks lagi. Sambil mbak-mbaknya melototin setiap senti badan dan rambut gua selagi treatment, sebuah kalimat yang udah ribuan kali gua denger diucap sama dia: “Mbaknya eksotis ya, orang bule pasti suka.” Heeemmmmmmmm……. Gimana yaa…… Ijinkan gua menjelaskan levels of impression yang gua miliki dari awal banget gua denger kalimat itu hingga sekarang setelah hampir 28 tahun hidup sebagai cewe berkulit sawo matang: Merasa ragu: “masa sih bule senengnya kayak gua? Gua item dekil begini apa menariknya di mata mereka?” Merasa bangga: “wahh kelas gua kelas bule. Kalo gua ketemu bule fix orang bule bakal naksir gua.” Merasa bosan: “iye iy...

Review Film Adrift

Satu lagi produk media yang mau gua review  terkait poin survival  yaitu film Adrift yang dimainin oleh Shailene Woodley (lah sama ya sama yang main Divergent). Kalo kalian nonton film ini gua gak yakin kalian bakal suka karena abang gua pun pas nonton ini katanya dia ngerasa ngantuk dan bosen banget sampe dia akhirnya ketiduran gak nonton film ini sampe habis. Huft.  Memang kalo diliat berdasarkan plot ceritanya sangat berpotensi ngebuat bosen sih karena alur ceritanya campuran yaitu mix antara flashback dan present . Sesungguhnya gua paling gak suka alur cerita yang kayak gitu, gua lebih suka fokus aja di present  kalo mau flashback  untuk jadi bahan plot twist  aja atau di moment-moment  tertentu. Tapi pas gua ngeliat poin survival  di film ini akhirnya gua mengesampingkan selera gua dan fokus ngikutin film ini dari awal sampe akhir, dan gua suka banget. (Sumber: website AVForums) Film ini bercerita tentang seorang perempuan bern...