Skip to main content

Kenapa harus kerja?


Basa-basi: Sebetulnya gua gak punya hak untuk nulis tentang artikel ini, karena pengalaman gua di dunia profesional sungguh amat sangat minim, bahkan gua masih terhitung nax ingusan banget. Gimana ngga? Sejarahnya sejak lulus gua baru kerja di satu instansi, itu pun setelah 1 semester (atau ngenesnya ENAM BULAN) gua udah resign, HEHE. Tapi gua gak akan bahas tentang itu. Anyway, intinya gua masih amatiran banget lah di dunia pekerjaan ini. TAPI kebetulan (baca: entah begimana ceritanya) gua ikutan KTB (kelompok tumbuh bersama/kelompok mentoring/kelompok diskusi agama) profesional di pemuda gereja gua, dannnn fokusnya ngebahas tentang dunia kerja. Nice. Dan kebetulannya lagi, hari ini kita ditugasin untuk ngereview apa yang didapet dari KTB hari ini dalam bahasa kita sendiri dan bagiin ke orang-orang di sekitar kita yang butuh tau tentang info ini. So here I am! Jadiin topik ini sebagai bahasan blog gua hari ini, karena gak ada medium lain yang lebih tepat untuk memfasilitasi kedua PR itu selain blog ini. Topik yang akan gua bahas adalah tentang kerjaan. Tapi tenang! Gua gak akan bahas purely dari cara pandang dan pengalaman gua aja since I have very minimum knowledge about that. Gua akan bahas based on buku yang dijadiin bahan KTB gereja gua ini, yaitu Every Good Endavour-nya Timothy Keller yang super terkenal itu. So kalo lo tertarik, silahkan lanjut membaca!

Oh ya! Another dislaimer, tulisan panjang lebar ini HANYA baru membahas bab 1nya buku Every Good Endavour. Jadi cakupan bahasannya masih terlalu cetek. Tapi ya semoga tetap ampuh untuk mengubah cara pandang kita tentang bekerja. Amin.

Oke, ayok kita mulai.

(Sumber: thenational.ae)

Di dunia ini, ada 2 cara pandang tentang bekerja atau berprofesi. Atau setidaknya 2 jenis jawaban yang paling sering gua denger dari mulut orang yang udah kerja kalo ditanyain apa motivasinya untuk kerja. Dua pandangan ini menentukan banget work ethic atau kegigihan orang yang bersangkutan dalam menjalankan pekerjaannya. Yang pertama adalah bahwa kerja hanya sebatas untuk bisa bertahan hidup, atau kalo bahasa mainstreamnya “untuk cari duit”, “untuk bisa makan”, “untuk bisa menghidupi keluarga”, dan semacamnya. Kalo gak kerja ya siap-siap aja untuk jatuh miskin, melarat, nyusain orang dengan minta-minta dan ngemis-ngemis duit ke orang, trus sooner or later dia bakal mati, literally or unliterally.

Cara pandang yang ini memberi efek ke si pekerja untuk memandang pekerjaannya sebagai kutukan, beban, penderitaan, cobaan hidup, dan hal-hal negatif lainnya. Alhasil ketika dia mencap kerjaannya seperti hal-hal itu, ketika dia bekerja pun dia jadi males-malesan, gak maksimal, gak bisa move on dari weekend, hari senin jadi hari paling mengerikan di antara 7 hari lainnya sedangkan hari jumat adalah hari terbaik di antara 7 hari lainnya (kalo dia gak bakal lembur sampe weekend), dan setiap tugas dan tanggung jawab yang diberikan ke dia itu rasanya kayak another karung beras yang ditaro di atas pundaknya dia. Untuk menyimpulkan, bagi orang-orang dengan cara pandang seperti ini, kerja adalah suatu bentuk aktivitas untuk mengisi waktu-waktu hidup kita sebelum kita sampe pada waktunya untuk cabut dari dunia ini alias mati. Kalo kata pemimpin KTB gua, cara pandang yang satu ini gak membedakan kita sama sekali dengan binatang. Karena yaudah, binatang pun gitu, berburu untuk cari mangsa supaya bisa ngisi perutnya, terus tidur, terus besoknya bangun gitu lagi, teruuuss sampe dia mati. Gak ada tujuan lain dalam hidup.

Cara pandang kedua adalah melihat kerjaan sebagai proses untuk mencapai masa depan yang impian banget. Simplenya ada beberapa stage yang harus kita lewatin dalam proses itu. Stage pertama adalah kita banting tulang untuk mendapatkan pengalaman sebanyak-banyaknya supaya kita perlahan tapi pasti bisa mendapatkan posisi yang cukup menjanjikan di level karir kita. Stage kedua adalah kita mulai kerja di posisi yang menjanjikan tapi terus banting tulang untuk naik jabatan lagi ke level bos-bos. Stage ketiga asumsikan kita udah di level bos-bos jadi kerjaan kita udah gak terlalu banyak lagi, but still harus tetep kerja keras untuk menimbun kekayaan kayak paman Gober di Donald Duck. Sehingga di stage terakhir, ketika kita udah mencapai usia pensiun dari kerjaan kita – sekitar umur 60an – kita bisa santai-santai menikmati hasil pencapaian kita selama masa kerja kita dulu dan kita bisa mendapatkan masa pensiun sesuai yang kita impikan, entah travelling, punya rumah gede dan banyak jadi bisa pindah-pindah tidurnya tiap hari, makan-makan seenaknya dari makanan lokal Indonesia sampe makanan orang Zimbabwe, dan lain-lain dengan menggunakan harta kekayaan yang udah kita kumpulin selama masa kerja kita.

Nah, orang dengan pandangan ini akibatnya gak akan bener-bener menikmati hidup masa mudanya dia, karena di pikirannya itu mind setnya adalah naik jabatan, naik jabatan dan naik jabatan, naik gaji, naik gaji, dan naik gaji, dapet uang lembur, dapet uang lembur, dan dapet uang lembur. Tendensinya jelas kemana, yaitu workaholic. Dan kita pasti udah kebayang orang-orang workaholic gini nasib kehidupan sosialnya begimana, bisa keluarganya terbengkalai, atau mending kalo berkeluarga, bisa jadi dia gak punya waktu untuk cari jodoh yang akhirnya gak punya kesempatan untuk membangun keluarga, atau dia akhirnya gak punya kehidupan lain selain pekerjaannya dia. Bener-bener paman Gober banget deh. Makna kehidupan hanya terletak di stage akhirnya itu, yaitu pas usia 60 bisa santai-santai nikmatin kehidupan dengan kekayaannya dia. Pertanyaannya: okelah lo bisa nikmatin masa pensiun lo sebahagia itu, tapi seberapa banyak yang harus lo korbanin demi mencapai titik itu? Seberapa banyak kebahagiaan yang harus lo lewatin untuk mencapai kebahagiaan yang gak pasti perwujudannya itu?

Beberapa cara pandang lainnya dalam pekerjaan misalnya kerja untuk dapat pengakuan dan penerimaan dari society, kerja untuk sarana menambah self-worthiness atau keberhargaan diri, kerja untuk foya-foya menuhin kebutuhan tersier, dan lain-lainnya.

Lalu apa kata kekristenan tentang pekerjaan? Emangnya ada korelasi antara agama dengan pekerjaan? JELAS ADA. Karena ternyata oh ternyata, Allah kita itu adalah Allah yang pekerja keras atau hard working. Itu bisa kita liat dari Kejadian 1 di mana Dia gak berhenti-hentinya kerja selama enam hari untuk menciptakan alam semesta ini. Atau kalo itu udah cerita lama bagi kalian, coba bayangin kinerjanya Dia di jaman sekarang ini setiap harinya. Untuk dapet gambarannya gua mau kasih contoh dari film Rise Of The Guardians yang di mana Santa Klaus dan Easter Bunny kerja keras setiap menjelang natal ataupun paskah. Santa Klaus nyebarin kado natal ke seluruh penjuru dunia untuk anak-anak baik hanya dalam 1 malam sebelum natal, sedangkan Easter Bunny nyebarin telor-telor paskah yang udah diwarnain dan diumpetin di tempat-tempat tersembunyi di setiap pelosok dunia ini dalam 1 malam sebelu paskah. Atau percontohan lainnya dalam film itu, Tooth Fairy atau peri gigi ngurusin seluruh penukaran recehan yang diumpetin di bawah bantal tidur semua anak kecil yang nyelipin giginya yang habis copot, setiap malam. Okelah itu semua khayalan dan hanya cerita anak kecil, tapi kinerjanya Tuhan kita ngga. Dia bener-bener stand by harus dengerin dan jawab semua doa-doa anak-anakNya 24/7, Dia juga trus ngontrol peperangan yang tejadi di belahan dunia mana, mengatur perjalanan politik di seluruh negara di muka bumi ini, terus Dia juga harus ngurusin ekosistem alam di seluruh dunia ini, trus Dia harus juga ngurusin pergantian musim di seluruh belahan bumi, dan segudang pekerjaan-pekerjaan lainnya. Yet, Dia bisa ngejalanin dan nyelesain tugasNya dengan sempurna. Dia Allah yang suka bekerja.

Jadi dari dasarnya aja bekerja adalah teladan yang Allah kasih buat kita. Dan bukan sekedar bekerja yang penting selesai tanpa peduli proses dan hasilnya gimana, tapi bekerja yang passionate dan maksimal. Itu bisa kita liat dari Kejadian 1 itu di mana berulang kali dikatakan Allah melihat semuanya (hasil ciptaanNya) sungguh amat baik. Kita harus mengerahkan seluruh kemampuan kita dalam bekerja sampe pada titik kita bisa berbangga dengan hasil pekerjaan kita sendiri.

Nah untuk mencapai aspek ini, kita harus bekerja dalam bidang yang kita yakin kita bagus di dalamnya atau setidaknya suka ngerjainnya. Karena kalo kita kerjain sesuatu yang sama sekali bukan kita banget, mana bisa kita kerjainnya sepenuh hati? Masih make sense lah kalo orang bekerja dalam bidang yang bukan dia banget selama setahun sampe dua tahun karena katanya setidaknya dia mau cari pengalaman dulu untuk ditaro di CVnya supaya pas cari kerjaan selanjutnya dia akan lebih diperhitungkan. Tapi pathetic banget kalo rupanya dia gak kerja di situ untuk sementara aja, tapi untuk seterusnya karena dia pengen cari aman, yang penting ada kepastian nasib hidupnya di dalamnya. Dia gak mikirin apakah dia bisa berdampak buat banyak orang melalui kerjaan itu, atau apakah pekerjaannya itu memuliakan Tuhan apa ngga, atau apakah seluruh bakat dan talentanya bisa dimaksimalkan melalui pekerjaan itu, karena yang dia pikirin hanyalah yang penting gaji dia pasti cair setiap bulan. Sedih, murah banget hidupnya.

Lanjut lagi, bekerja itu bukan sekedar mengisi waktu hidup sampe pensiun habis itu kita santai-santai, nope. Bekerja itu seumur hidup, apapun itu kerjaannya, whether kita bekerja dalam instansi atau ngga. Karena Allah kita pun dari sebelum dunia dijadiin, sampe pada kesudahannya dunia ini akan berakhir, Dia gak akan pernah berhenti bekerja, karena itulah naturenya Dia, untuk menghasilkan sesuatu, dan sesuatunya ini bukan self-centered untuk Dia sendiri, tapi untuk orang lain juga. Dan kita, yang dibentuk sesuai gambar dan rupaNya juga diwarisi nature itu. Kita, seharusnya, gak akan merasa nyaman kalo gak melakukan sesuatu, rasanya pikiran dan tangan kita harus menghasilkan sesuatu barulah kita bisa merasa tenang dan utuh sebagai manusia. Kita seharusnya gak merasa puas kalo melakukan sesuatu hanya untuk diri kita sendiri, tapi kita harus bisa menyaksikan bahwa pekerjaan itu menguntungkan dan membawa kebahagiaan untuk orang lain juga, barulah kita merasa puas. We work for eternity, and we work to bring common goods for others too.

Dan poin lainnya tentang pekerjaan yang bagus banget dari teladan Allah dalam kekristenan adalah menyeimbangkan etos kerja kita dengan istirahat. Beuh! Idola banget gak sih? Allah kita dari awal tau bahwa kerja itu cape, ngebuat penat, ngebuat jenuh, seberapa asiknya pun kerjaan itu. Pasti dalam bekerja akan ada saatnya kita ngerasa terkuras energi, pikiran, dan emosi kita. Makanya Dia bilang penting banget yang namanya istirahat. Itu pun Dia percontohin di Kejadian 1. Dibilang bahwa setelah 6 hari kerja Tuhan ambil hari ketujuh untuk istirahat. Poin yang menarik dari buku itu dia ngehighlight bagian “emangnya kalo dipikir-pikir Tuhan kita yang super powerful itu butuh istirahat karena Dia kecapean? Emang Dia bisa cape?” Ada 2 poin yang bisa kita pelajarin dari bagian itu. Pertama adalah bahwa itu merupakan bentuk aktivitas yang Dia lakuin bukan untuk diri Dia sendiri, tapi lebih ke supaya jadi teladan supaya dilakuin sama kita anak-anakNya yang bakal ngikutin semua tingkah lakuNya. Kedua, istirahat di sini pun bisa diinterpretasikan bukan secara harafiah istirahat fisik (doang). Tapi (juga) istirahat dari kepenatan kerja kita dengan cara mengucap syukur untuk segala proses dan pencapaian yang udah kita lewati selama 6 hari ke belakang supaya pas balik kerja lagi besoknya kita bisa mulai dengan positive vibe karena kita tau kerjaan kita ini ada makna dan dampak baiknya.

Maka mengacu dari poin-poin itu, kita sebagai pekerja-pekerja Kristen harusnya gak ada lagi istilah gabut alias gaji buta atau kalo diterjemahin artinya suatu kondisi di mana kita males-malesan, nunda kerjaan, leha-leha, demi gak bercape-cape tapi tetep digaji hari itu. Harusnya dengan passion yang mendorong kita dalam bekerja kita jadi antusias dalam memulai setiap hari baru dalam bekerja. Seharusnya sebelum mulai kerja kita tanya sama diri kita sendiri “Apa yang bisa gua hasilkan hari ini?” dengan gitu setiap hari dalam hari kerja kita akan jadi lebih bermakna dan efektif.

Dan jika kita balik lagi ke 2 cara pandang di atas, kita bisa ngeliat dimana kecacatannya dan bagaimana cara mengkritisi cara-cara pandang itu. Misalkan untuk cara pandang pertama yang mengatakan bahwa bekerja hanya untuk bertahan hidup, kita bisa membantah pemikiran itu dengan keyakinan bahwa bekerja adalah untuk melakukan dan menghasilkan suatu hal baik yang hanya bisa dilakukan sama kita seorang karena Tuhan kasih bakat dan talenta yang spesifik untuk kita. Dan untuk cara pandang kedua yang mengatakan bahwa kerja itu dikebut sejadi-jadinya supaya bisa menumpuk kekayaan untuk di masa tua, kita bisa membantah dengan keyakinan bahwa yang pertama bekerja itu gak akan ada masa berhentinya, bahkan di masa tua sekali pun, selama kita masih sanggup kita masih harus bekerja melalui kesempatan-kesempatan yang Tuhan kasih. Kedua kita harus menikmati setiap proses dan fase dari pekerjaan kita menuju satu tujuan dan arah yang jelas, bukan untuk menimbun harta ataupun untuk berhenti kerja di masa tua, tapi untuk menghasilkan suatu hal yang besar dan baik bagi banyak orang. Dengan gitu kita gak perlu merasa diburu-buru, kita merasa rileks dalam bekerja, dan di sisi lain juga akan mensyukuri serta bener-bener menikmati masa-masa istirahat yang kita dapet.

Dengan objektif-objektif kayak gini dalam bekerja, gua yakin kita akan jadi pekerja-pekerja yang antusias, passionate, dan maksimal dalam ngejalanin pekerjaan kita ataupun dalam proses pembangunan karir kita ke depannya. Gua yakin kita bisa jadi orang-orang yang hasil kerjaannya memuaskan atasan kita, rekan sekerja kita, client kita, dan pastinya diri kita sendiri. Gua yakin kita bisa jadi pekerja yang kehadirannya gak akan cuma mengubah jalan hidup kita sendiri, tapi juga membawa kemajuan buat perusahaan tempat kita bekerja, dan terlebih lagi lingkungan yang merasakan dampak langsung dari perusahaan kita, misal kota tempat tinggal kita atau bahkan negara kita.

Ayok instropeksi cara pandang kita terhadap pekerjaan kita, apakah udah sesuai sama teladan Allah atau belom. Tuhan memberkati~

Comments

Popular posts from this blog

He Was My Father, Yet Never Was My Dad

Setahun udah berlalu sejak papa dipanggil Tuhan secara mendadak. Sebetulnya pengen pura-pura selalu tersenyum aja dan bilang bahwa aku Ikhlas Tuhan panggil papa pulang ke pangkuanNya. Tapi salah satu ciri kedewasaan dalam beriman adalah ketika kita terbuka akan apa yang kita rasakan, kita alami. Dan di postingan ini gua pengen cerita, rasanya punya papa seorang hamba Tuhan, dan rasanya ketika papaku diambil secara tiba-tiba tanpa kesempatan utk say goodbye . Persepsi umum yang orang-orang punya kalo ngeliat anak yang orang tuanya seorang pendeta atau hamba Tuhan pasti “enak”, “baik”, “beruntung”, “aman (secara kerohanian)”, padahal udah jadi rahasia umum kalo justru anak pendeta biasanya rusak-rusak, entah karena jadi target utamanya si iblis untuk nyerang pelayanan Tuhan lewat keluarga hambaNya, ataupun karena, ini yang gua personally rasain, ayah/ibunya yang adalah hamba Tuhan justru terlalu asik melayani di luar hingga anaknya sendiri ditelantarin. Gua yang mana? This is the ug...

Review Film Adrift

Satu lagi produk media yang mau gua review  terkait poin survival  yaitu film Adrift yang dimainin oleh Shailene Woodley (lah sama ya sama yang main Divergent). Kalo kalian nonton film ini gua gak yakin kalian bakal suka karena abang gua pun pas nonton ini katanya dia ngerasa ngantuk dan bosen banget sampe dia akhirnya ketiduran gak nonton film ini sampe habis. Huft.  Memang kalo diliat berdasarkan plot ceritanya sangat berpotensi ngebuat bosen sih karena alur ceritanya campuran yaitu mix antara flashback dan present . Sesungguhnya gua paling gak suka alur cerita yang kayak gitu, gua lebih suka fokus aja di present  kalo mau flashback  untuk jadi bahan plot twist  aja atau di moment-moment  tertentu. Tapi pas gua ngeliat poin survival  di film ini akhirnya gua mengesampingkan selera gua dan fokus ngikutin film ini dari awal sampe akhir, dan gua suka banget. (Sumber: website AVForums) Film ini bercerita tentang seorang perempuan bern...

Failure Does Not Always Mean That You Are Not Good Enough

Pemanasan-pemanasan Kegagalan Dulu pas SMA gua sedih banget karena gagal masuk SMA-SMA terbaik di Depok (karena SMP gua masuknya rayon Depok jadi males pindah-pindah rayon lagi untuk nyari SMA ke Jakarta ). SMA-SMA Depok terbaik di jaman gua waktu itu SMA 1, SMA 2, SMA 3, dan tiga-tiganya gua gak masuk. Malah ‘terbuang’ masuknya ke SMA 5 Depok. No offense untuk anak-anak SMA 5 Depok atau yang ngerasa SMAnya masih di bawah SMA 5 Depok tapi ini gua lagi jujur menjelaskan perasaan gua waktu itu. Alhasil gua di bully sama abang-abang gua yang notabene masuk SMA-SMA terbaik Jakarta ataupun Depok, abang gua yang pertama masuk Gonzaga, salah satu SMA swasta terbaik Jakarta, abang gua yang kedua masuk SMA 34 Jakarta, salah satu SMA negeri terbaik Jakarta, dan abang gua yang ketiga keempat masuk SMA 1 Depok. Pas awal-awal masuk SMA 5 Depok, yang disebut SMANLI, gua malu dan kecewa banget sama diri sendiri, begitu juga sama Tuhan, karena dari pas mau tes-tes masuk SMA udah berdoa banget su...